Subscribe

Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Sabtu, 17 Januari 2009

Depresi: Apa, Mengapa dan Bagaimana


Yanti, 32, sedih bukan kepalang. Betapa tidak, kini ia berstatus janda beranak satu setelah ditinggal Yudi, pasangan hidupnya selama 5 tahun. Kini ia bingung, siapa yang akan menemani hidupnya. Walaupun sebenarnya ia bekerja dan berpenghasilan cukup untuk membesarkan putri sematawayangnya yang berusia 3 tahun, namun ia tidak tahu bagaimana untuk menghadapi hari esok. Segenap keluarga dan kawan-kawannya berusaha menghibur dan membesarkan hatinya. Namun tetap saja ia tidak mampu bangkit dari kesedihannya yang semakin menjadi, padahal sudah 6 bulan berlalu sejak Yudi pergi untuk selamanya. Ia kini tidak mau makan ataupun megurus dirinya. Putrinya semakin terlantar sampai-sampai harus dirawat oleh neneknya. Kerjanya hanya mengurung diri di kamar, meratap dan menangis minmal tiga kali sehari.

Erna, kawannya sejak SMA, menangkap tanda-tanda bahwa Yanti memang membutuhkan bantuan karena ia menderita suatu gangguan yang dikenal dalam dunia kedokteran sebagai gangguan mood, atau tepatnya, gangguan depresif mayor.

Sebenarnya Yanti tidak sendirian. Di dunia ini sedikitnya 5% sampai 20% umat manusia menderita gangguan depresi mayor. Angka yang tidak sedikit, bukan? Yang terbanyak terkena adalah perempuan dengan perbandingan 2:1. Gangguan ini paling banyak menyerang kelompok usia 20 sampai 40 tahun. Prevalensinya berkurang pada lanjut usia, yaitu hanya sekitar 1% sampai 3%. Pada anak-anak, sedikitnya 2,5% dan 8% remaja di dunia juga menderita karena gangguan kejiwaan ini.

Apa itu?
Gangguan Depresi Mayor, atau lebih dikenal sebagai depresi, adalah gangguan kejiwaan berupa gangguan dari mood. Mood adalah keadaan emosional yang persisten, berbeda dari afek yaitu emosi yang diungkapkan pada suatu waktu. Berbeda memang pengertian kedokteran dengan pengertian awam terhadap mood. Ungkapan seperti “mood-nya sedang jelek” sebenarnya keliru. Mood tidak dapat dengan mudahnya berubah.

Sejatinya mood kita sesuai dengan yang kita alami dan dapat kita pahami apa yang kita rasakan serta apa yang menyebabkan kita merasa seperti itu. Misalnya jika kita kehilangan orang yang kita sayangi, kita akan merasa sedih. Itu sangatlah wajar, tetapi jika sedih kita berkepanjangan, mengganggu fungsi sosial kita sampai tidak sampai bisa bekerja, mengganggu tidur, setiap hari pikiran kita tentang kesedihan itu iu saja dan tidak mampu bangkit lagi. Nah itulah yang disebut sebagai gangguan dan kita membutuhkan pertolongan.

Celakanya, orang-orang tidak banyak mengerti mengenai gangguan-gangguan kejiwaan seperti ini. Masyarakat masih mencibir, “Ah, dianya saja terlalu lemah.” Atau mencap cengeng, manja, minta dikasihani atau sebagainya dan tidak menyadari bahwa mereka membutuhkan bantuan, baik dari orang-orang terdekatnya, terutama, dan juga dari professional.

Tanda dan gejalanya?
Dalam “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders” edisi keempat (terbaru) sudah ada kriteria-kriteria untuk mendiagnosis depresi. Tanda-tanda atau gejala-gejalanyaantara lain perubah mood dimana setiap hari atau hampir setiap hari diwarna dengan kesedihan. Kemudian motorik atau gerak-geriknya jadi melambat, tidak bermotivasi, malas ini itu dan mulai meninggalkan hal-hal yang bahkan disenanginya.

Gejala utama lainnya adalah gangguan tidur. Gangguan tidur ini malah bisa menjadi gejala yang paling menonjol. Secara objektif dapat dibuktikan dengan memeriksa gelombang otak saat tidur dan akan ditemukan kelainan pada fase tidur yang dalam serta perubahan-perubahan pada fase REM (rapid Eye Movemnet).

Apa penyebabnya?
Teori-teori psikologi yang umumnya diamini oleh semua kalangan mengatakan bahwa kehilangan akan sesuatu atau seseorang (baik dalam arti sebenarnya ataupun secara perseptif)adalah pemacu utama depresi, seperti yang dialami Yanti tadi. Kehilangan suaminya menjadi pemicu depresinya.

Tapi misalkan saja, ada orang lain yang mengalami hal serupa dengan yang dialami Yanti, tetapi ia tidak menderita depresi, ia bisa bangkit dari kesedihannya dan menjalani hidup seperti sedia kala. Bagaimana itu bisa terjadi? Berati ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi.

Menurut teori psikoanalisa, depresi terjadi karena ada ambivalensi terhadap rasa kehilangan dan adanya ketidakseimbangan psikis. Penelitian-penelitian membuktikan bahwa depresi memang berhubungan dengan genetis dan diturunkan. Jadi, jika orang tua menderita depresi, maka gangguan ini dapat diturunkan kepada anaknya.

Penelitian-penelitian neuropsikiatri juga membuktikan bahwa ketidakseimbangan neurotransmitter (zat-zat biokimia dalam otak) juga biang kerok utama depresi.Terutama adanya gangguan poros hipotalamik-pituatari-anak ginjal yang menyebabkan defisiensi norepinefrin dan serotonin dalam otak.

Bagaimana pengobatannya?
Seperti terapi-terapi kejiwaan pada umumnya, psikoterapi yang dikombinasi dengan farmakoterapi adalah cara terbaik melawan depresi. Obat-obat antidepresi seperti anti depresan trisiklik, SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor), MAOI (monoamine oxidase inhibitor) atau obat-obat antidepsan lainnya akan diresepkan dokter untuk para penderita depresi. Desertai psikoterapi seperti psikoterapi kognitif-behavioral suportif atau trapi interpersonal adalah terapi yang paling superior untuk depresi.

Karena prevalensi depresi seumur hidup cukup tinggi, sekitar 20%, maka ada kemungkinan untuk meminum obat seumur hidup. Tetapi setidaknya depresinya terkontrol sehingga ia bisa berfungsi sebagaimana mustinya.

Mengontrol depresi
Adalah penting agar depresi dapat terkontrol. Mengapa? Pasalnya, selain depresi bersifat rekuren (dapat kambuh kembali), depresi juga dapat mematikan. Depresi menyebabkan 15% penderitanya melakukan bunuh diri. Bahkan suatu penelitian memperlihatkan bahwa pria berusia 65 tahun keatas yang menderita depresi memiliki angka resiko bunuh diri lima kali lebih besar dari populasi pada umumnya.

Yanti beruntung, temannya Erna dapat tangkap dengan situasi Yanti. Setelah itu Yanti dikenalkan dengan seorang dokter ahli kejiwaan dan Yanti mendapat pengobatan serta psikotapi. Ia kini dapat kembali bekerja serta mengurus putrinya kembali. Nah, kita jika menemukan seseorang yang dekat dengan kita dengan tanda-tanda depresi, kita jangan menghakimi mereka. Alih-alih mencibirnya atau malah mengasihaninya tanpa tindakan nyata ataupun menghujaninya dengan beribu nasihat, lebih bijaksana kita tetap mendukung mereka dan mendorongnya untuk mendapatkan pegobatan.

12 komentar:

  1. Wah pak... topiknya bagus....
    gw sendiri menderita depresi.

    gw ke psikiater buat dapet anti-depressant, soalnya gak bisa tidur dan emang gak bisa ngapa2in. lumpuh.

    gw memutuskan untuk ke psikiater instead of ke psikolog karena pendekatan kognitif cenderung lebih lama. padahal gw butuh solusi tercepat supaya bisa balik normal.

    akhirnya sekarang gw lepas dari obat2 anti-depressant karena gw bertekad dengan sangat keras untuk gak bergantung sama obat2 itu. Ditambah dukungan dari orang2 terdekat juga.

    sangat sulit. 2 bulan gak bisa tidur tanpa obat, tapi gw mengisi malam2 panjang gw dengan cara belajar gambar, buat puisi, baca novel, nonton film dan buat reviewnya.

    ini aja comment gw ;) mudah2an gw gak kambuh lagi... capek bgt....

    BalasHapus
  2. wah parah juga ya zoink, kl gejala spt itu dah masuk depresi mayor ya?
    Salut sama perjuangannya Zoink, semoga terus bisa menikmati hidup yang indah!

    Agak mengerikan jg fakta depresi seumur hidup bisa mencapai 20%. Kebayang aja kl gak bisa lepas dari obat.

    Btw kayaknya di tempat gw gak produksi anti depresant.
    ada referensi gak bahan aktif nya apa aja ya?

    Btw ada tips gak supaya gak terlalu rentan sama depresi? terutama untuk mereka yang mewarisi depresi secara genetis, kan kasian jg tuh, kl mereka jadi gampang kena depresi

    BalasHapus
  3. oia, saran dikit buat mirror
    Kl ada heading seperti "Apa penyebabnya?", "Mengontrol Depresi", "Bagaimana Pengobatannya?" minta di bold dong biar bisa quick reading. Thx. Sukses ya blog nya...
    ditunggu artikel menarik lainnya!

    BalasHapus
  4. oh iyah saran aki ditrima, tapi entar editnya, soalnya saya mau nonton dulu

    hehehehehehe

    BalasHapus
  5. gw emang udah termasuk major depressive disorder.
    obat yang gw minum namanya: Cipralex sama Zyprexa. coba dicari aja di google ;)

    hmm.. mungkin buat masing2 orang beda treatmentnya kali yah. tapi yang paling umum sih pastinya pendekatan kognitif, jgn bergantung sama obat terus.

    kalo gw sendiri emang memaksakan diri untuk gak minum obat dan menyibukkan diri dengan hobby2 gw kalo gak bisa tidur.

    mungkin kedengeran aneh, tapi gw yang orangnya termasuk sangat tertutup, memaksakan diri gw untuk ngomongin segala sesuatu yang bikin kesel ato jadi ganjalan di hati.

    jadi selama gw dalam proses gak minum obat itu, kalo gw mau marah, gw lgsg marah, gak mau ditahan2.

    udah gitu hindari hal2 yang buat kita sensitif. pasti ada beberapa penyebab utama yang buat kita depresi, hindarin hal2 yang bisa ingetin kita sama hal2 itu. dan hindarin hal2 yang bisa buat kita emosi.

    kalo buat gw, gw hindarin nyetir, karena macet di jalan itu bikin gw kesel.

    Dukungan dari orang2 terdekat juga penting, jgn ditutup2in kalo kita lagi depresi...

    BalasHapus
  6. yep bener banget, nyetir itu emang bikin kesel abis, apalagi pas wiken wkwkwkwk mau bersenang2 malah mancing emosi kl gak ya stres wkwkwk....

    thanks referensi obatnya, ntar gw liat2...

    tpnya kl abis marah itu apa yang dirasain? lebih plong/ringan kah?

    btw hebat juga ya bisa mengalihkan ke hobi, tp bukannya kl lagi depresi itu bisa kehilangan motivasi untuk melakukan apa pun ya?

    BalasHapus
  7. kalau sudah parah bisa ke situ, tapi itu bukan tanda/gejala utama, aking.

    Kalau diobati bisa membaik kok, senangnya Zoink bisa berbagi pengalaman...

    Thx, I really do appreciate that

    ^^

    BalasHapus
  8. topik ini bagus banget! =D kayaknya berguna bagi penderita2 depresi buat baca artikel ini =) emank kurang tidur itu pemicu depresi juga yah

    BalasHapus
  9. bukan pemicu tapi salah satu tana-gejala utama yang dapat muncul rii

    BalasHapus
  10. thanks bgt buat topiknya, gw sekarang menderita panic disorder/anxiety disorder/depresi(kata dokter gw) dan skrg masih di treat dengan obat efexor dan zyprexa.

    Gw tersiksa bgt kalo kambuh, gejalanya mungkin beda2 ya kalo lagi kambuh gw sesak,lemas,gampang cape, kembung (sendawa mulu) trus kalo udah minum zyprexa baru tenang.

    kata dokter gw minum obat ini cukup lama kalo udah minum gak boleh langsung berhenti harus bertahap kalo ngga bisa tambah parah.

    Skrg gw hindarin yg namanya bikin stres ya kayak nyetir, gampang tersinggung dll.
    Dengar dengar (blm nyoba sih) untuk menyembuhkan stress/depresi ini lebih efektif dengan hipnoterapi.

    BalasHapus
  11. Informasi yang menarik. Menakutkan juga ya 20% populasi kita bisa terjangkit depresi... Butuh sekali pengetahuan yang baik supaya bisa menjaga supaya tidak terkena...
    Tq artikelnya ^^

    BalasHapus
  12. Bang apa sih beda depresi dan psikosomatis. Aku menderita plus, kalo cuma sekedar nggak bisa tidur, masih bisa cari kegiatan. Tapi yang bikin pusing badan sakit smua. Dah minum obat 3 thn. Kalo nggak, nggak bisa ngapai-ngapain.

    BalasHapus